Senin, 27 Oktober 2008

Ekspresi p53 pada Kanker Serviks
Terinfeksi Human Papilloma Virus tipe 16 dan 18:
Studi Kros Seksional

Mega Antara, Suwiyoga*, Suastika**

Bagian / SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan*
Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam**
Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana/Rumah Sakit Sanglah Denpasar


ABSTRAK

Latar belakang : Prevalensi kanker serviks berada pada urutan teratas dan merupakan penyebab tersering kematian yang berhubungan dengan kanker perempuan. Prognosis kanker serviks adalah buruk oleh karena sekitar 85-90 % kanker serviks terdiagnosis pada stadium invasif. Faktor risiko mayor kanker serviks adalah infeksi human papilloma virus (HPV) terutama tipe 16 dan 18 yang merupakan kelompok HPV onkogenik tinggi serta tersebar secara luas diseluruh dunia. Diduga sifat onkogenik HPV-18 lebih tinggi daripada HPV-16. Dalam karsinogenesis kanker serviks terinfeksi HPV, protein 53 (p53) sebagai supresor tumor diduga paling banyak berperan.

Tujuan : Mengetahui perbedaan ekpresi p53 pada kanker serviks terinfeksi HPV tipe 16 dan HPV tipe 18.

Bahan dan Cara : Penelitian ini merupakan studi cross-sectional yang dilaksanakan di poliklinik ginekologi-onkologi RSUP sanglah Denpasar dari Januari 2005 sampai dengan desember 2005. Diagnosis kanker serviks berdasarkan hasil histopatologik di Bagian Patologi Anatomi FK UNUD / RSUP Sanglah Denpasar. Deteksi infeksi HPV tipe 16 dan 18 dilakukan dengan teknik PCR dan p53 dengan teknik imunohistokimia peroksidase anti peroksidase di Unit Riset Biomedik RSUD Mataram-Lombok. Data hasil penelitian dilakukan uji t independent.

Hasil: Pada penelitian ini diperoleh bahwa pada kanker serviks 72,0% umur 40-60 tahun, 96,0% multiparitas, 36% aktivitas seksual dibawah 20 tahun dan 62,0% merokok. Rerata ekspresi p53 pada kanker serviks invasif terinfeksi HPV tipe 16 adalah 28,68 dan pada HPV tipe 18 adalah 67,54. Rerata perbedaan ekspresi p53 pada kanker serviks invasif terinfeksi HPV tipe 16 dan 18 adalah 38,86 (p< 0,05).

Simpulan :Terdapat perbedaan bermakna ekspresi p53 pada kanker serviks terinfeksi HPV tipe 16 dan 18.

Kata kunci : kanker serviks, infeksi HPV -16 dan 18, p53



P53 Expression in Cervical Cancers
Infected by Human Papilloma Virus Type 16 and 18:
A Cross Sectional Study


ABSTRACT

Background: Cervical cancer is the most prevalent cancer and the most common cause of death related to woman cancers. The prognosis is poor becaused of 80-85% cervical cancers were diagnosed at invasive stage. The major risk factors of cervical cancers are Human Papilloma Virus (HPV) infection especially HPV-16 and 18 which are the group of high risk oncogenic and widely distributed in the worldwide. It was suggested that HPV-18 more oncogenic than HPV-16. In cervical cancer carcinogenesis with HPV infection, the role of p53 as tumor suppressor was suggested most common.

Objectives: To determine the differences of p53 expression in cervical cancer with human Papilloma Virus type 16 and 18 infections.

Material and Method: This study was cross sectional and performed in gynecology–oncology clinic Sanglah Hospital Denpasar in January 2005-Desember 2005. All women diagnosed with cervical cancer based on biopsy and histopathology examination at department of Pathology, Medical faculty of Udayana University Denpasar. The existence of HPV -16 and 18 infection was detected by PCR technique and p53 by immunohistochemical peroxide anti peroxidase method. The data was analyzed using the independent t test.

Result: In this study we found that cervical cancer was of 72.0% aged 40-60 years, 96.0% multiparitas, 36% conducted sexual activities before 20 years of age, and 62.% were smoker. Mean of p53 expression in invasive cervical cancer with HPV-16 infection was 26.68 and in HPV-18 infection was 67.54. Mean difference of p53 expression in invasive cervical cancer with HPV-16 and 18 infection was 38.86 (p<0.005).

Conclusion: There was significant mean differences p53 expression between cervical with Human Papilloma Virus type 16 and 18 infections.

Key word : cervical cancer, HPV -16 and 18 infections, p53.










PENDAHULUAN

Sampai saat ini di Indonesia, prevalensi kanker serviks berada pada urutan teratas dan merupakan penyebab tersering kematian yang berhubungan dengan kanker perempuan. Diperkirakan, ditemukan sekitar 100.000 kanker baru pertahun dan 40% nya adalah kanker serviks (Nugroho, 2000). Laporan dari beberapa rumah sakit pendidikan menyatakan bahwa kanker serviks adalah teratas diantara 10 jenis kanker dan sekitar 70% dari kanker ginekologi. Selain itu, kematian akibat kanker serviks adalah tertinggi dengan fatalitas sekitar 75% pada tahun pertama didiagnosis.
Prognosis kanker serviks adalah buruk. Prognosis yang buruk tersebut dihubungkan dengan 85-90 % kanker serviks terdiagnosis pada stadium invasif, stadium lanjut, bahkan stadium terminal (Suwiyoga, 2000; Nugroho, 2000). Selama ini, beberapa cara dipakai menentukan faktor prognosis adalah berdasarkan klinis dan histopatologis seperti keadaan umum, stadium, besar tumor primer, jenis sel, derajat diferensiasi Broders (Geene,1998; Kenneth, 2000). Selain itu, status sosial ekonomi yang rendah, keterbatasan sumber daya, sarana, dan prasarana ikut serta memperburuk prognosis (Susanto, dkk.,1997; Yanti, dkk., 1998). Akan tetapi kedua hal diatas merupakan indikator prognosis ditingkat seluler dan jaringan bahkan anatomis. Sejak pengetahuan dan ilmu biologi molekuler berkembang pesat, indikator molekuler lebih dipercaya dan memiliki ketepatan dan manfaat klinis yang lebih baik.
Berdasarkan karsinogenesis umum, proses perubahan menjadi kanker diakibatkan oleh adanya mutasi gen pengendali siklus sel. Gen pengendali tersebut adalah oncogen, tumor supresor gene, dan repair genes. (Djoerban, 2000; Andrijono,2004). Onkogen dan tumor supresor gen mempunyai efek yang berlawanan dalam karsinogenesis, dimana onkogen memperantarai timbulnya transformasi maligna, sedangkan tumor supresor gen akan menghambat perkembangan tumor yang diatur oleh gen yang terlibat dalam pertumbuhan sel.
Sampai saat ini, disepakati secara luas bahwa faktor risiko mayor kanker serviks adalah infeksi human papilloma virus (HPV) (Franco et al, 1999) terutama tipe 16 dan 18 yang merupakan kelompok HPV onkogenik tinggi serta tersebar secara luas diseluruh dunia (Wright, 1995). Yang membedakan antara HPV risiko tinggi dengan HPV risiko rendah adalah satu asam amino saja. Asam amino tersebut adalah aspartat pada HPV risiko tinggi dan glisin pada HPV risiko rendah dan sedang (Gastout et al, 1996). Peran infeksi HPV sebagai faktor risiko mayor kanker serviks telah mendekati kesepakatan, tanpa mengecilkan arti faktor risiko minor seperti umur, paritas, aktivitas seksual dini/prilaku seksual, dan merokok (Brennan et al, 1995), pil kontrasepsi, genetik, infeksi virus lain dan beberapa infeksi kronis lain pada serviks (Wright, 2001) seperti klamidia trakomatis (Suwiyoga, 2004) dan HSV-2 (Hacker, 2000).
Dinyatakan pula bahwa tidak terdapat perbedaan probabilitas terjadinya kanker serviks pada infeksi HPV-16 dan infeksi HPV-18 baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama (Bosch et al, 2002). Akan tetapi sifat onkogenik HPV-18 lebih tinggi daripada HPV-16 yang dibuktikan pada sel kultur dimana transformasi HPV-18 adalah 5 kali lebih besar dibandingkan dengan HPV-16. Selain itu, didapatkan pula bahwa respon imun pada HPV-18 dapat meningkatkan virulensi virus dimana mekanismenya belum jelas (Burger et al, 2000). HPV-16 berhubungan dengan squamous cell carcinoma serviks. Sedangkan, HPV-18 berhubungan dengan adenocarcinoma serviks. Prognosis dari adenocarcinoma kanker serviks lebih buruk dibandingkan squamous cell carcinoma (Lopez, 1997; Fox, 2000).
Virus DNA ini menyerang epitel permukaan serviks pada sel basal zona transformasi, dibantu oleh faktor risiko lain mengakibatkan perubahan gen pada molekul vital yang tidak dapat diperbaiki, menetap, dan kehilangan sifat serta kontrol pertumbuhan sel normal sehingga terjadi keganasan (Suryohudoyo, 1998; Debbie, 1998). Berbagai jenis protein diekspresikan oleh HPV yang pada dasarnya merupakan pendukung siklus hidup alami virus tersebut. Protein tersebut adalah E1, E2, E4, E5, E6, dan E7 yang merupakan segmen open reading frame (ORF). Di tingkat seluler, infeksi HPV pada fase laten bersifat epigenetik. Pada infeksi fase laten, terjadi terjadi ekspresi E1 dan E2 yang menstimulus ekspresi terutama terutama L1 selain L2 yang berfungsi pada reflikasi dan perakitan virus baru. Virus baru tersebut menginfeksi kembali sel epitel serviks. Di samping itu, pada infeksi fase laten ini muncul reaksi imun tipe lambat dengan terbentuknya antibodi E1 dan E2 yang mengakibatkan penurunan ekspresi E1 dan E2. Penurunan ekspresi E1 dan E2 dan jumlah HPV lebih dari ± 50.000 virion per sel dapat mendorong terjadinya integrasi antara DNA virus dengan DNA sel penjamu untuk kemudian infeksi HPV memasuki fase aktif (Djoerban, 2000). Ekspresi E1 dan E2 rendah hilang pada pos integrasi ini menstimulus ekspresi onkoprotein E6 dan E7.
Selain itu, dalam karsinogenesis kanker serviks terinfeksi HPV, protein 53 (p53) sebagai supresor tumor diduga paling banyak berperan. Fungsi p53 wild type sebagai negative control cell cycle dan guardian of genom mengalami degradasi karena membentuk kompleks p53-E6 atau mutasi p53. Kompleks p53-E6 dan p53 mutan adalah stabil, sedangkan p53 wild type adalah labil dan hanya bertahan 20-30 menit. Apabila terjadi degradasi fungsi p53 maka proses karsinogenesis berjalan tanpa kontrol oleh p53. Oleh karena itu, p53 juga dapat dipakai sebagai indikator prognosis molekuler untuk menilai baik perkembangan lesi pre-kanker maupun keberhasilan terapi kanker serviks (Kaufman et al, 2000).
Dengan demikian dapatlah diasumsikan bahwa pada kanker serviks terinfeksi HPV terjadi peningkatan kompleks p53-E6. Dengan pernyataan lain, terjadi penurunan p53 pada kanker serviks terinfeksi HPV. Dan, seharusnya p53 dapat dipakai indikator molekuler untuk menentukan prognosis kanker serviks.

BAHAN DAN CARA KERJA

Penelitian ini adalah studi cross-sectional bertempat di Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RS Sanglah Denpasar dari Januari 2005 sampai Desember 2005. Populasi adalah semua pasien kanker serviks baru dan belum pernah di terapi yang berobat di Poliklinik Onkologi Ginekologi Bagian Obstetri dan Ginekologi RS Sanglah Denpasar. Kriteria Inklusi adalah kanker serviks terinfeksi HPV tipe 16 atau 18 dan bersedia ikut penelitian dengan menandatangani informed consent. 25 Sampel dipilih secara consecutive.
Definisi Operasional Variabel
Kanker serviks adalah kanker yang mengenai serviks uterus yang didiagnosis berdasarkan klinis dan pemeriksaan histopatologi.
Umur adalah usia pasien dalam tahun berdasarkan tanggal lahir atau seperti yang tertera pada kartu tanda penduduk.
Paritas adalah jumlah janin viabel yang pernah dilahirkan pasien.
Aktivitas seksual dini adalah usia pasien di bawah atau 16 tahun, saat melakukan kontak seksual pertama atau umur kawin yang pertama
Perokok adalah pasien/suami yang merokok minimal 10 batang sigaret secara rutin setiap hari.
Akseptor pil kontrasepsi adalah pasien yang pernah atau sedang memakai l kontrasepsi hormonal kombinasi estrogen-progesteron minimal 5 tahun berturut-turut.
protein 53 adalah protein yang diperiksa dengan tehnik imunohistokimia, memakai antibodi primer p53 (Lab Vision UK # RB-9006-P1).
HPV-16 dan 18 adalah DNA virus yang terlacak dengan tehnik PCR GP MY-6 (PCR Core System Promega, USA) masing-masing oleh primer khusus HPV tipe 16 dan HPV tipe 18 pada bahan jaringan biopsi serviks. Termasuk kategori ini adalah kumpulan sampel dengan HPV tipe 16 dan HPV tipe 18.
Diagnosis kanker serviks berdasarkan pemeriksaan histopatologis di Bagian Patologi Anatomi FK UNUD/RS Sanglah Denpasar. Pemeriksaan HPV dengan teknik PCR, pemeriksaan p53 dengan teknik imunohistokimia dilakukan di Unit Riset Biomedik RSU Mataram. Dilakukan analisa data dengan uji t independent.


HASIL PENELITIAN

Telah dilakukan suatu penelitian kros seksional untuk mengetahui perbedaan ekspresi p53 pada kanker serviks terinfeksi HPV tipe 16 dengan HPV tipe 18. Dari Januari 2005 sampai dengan Desember 2005 didapatkan kasus kanker serviks sebanyak 38 kasus dengan kanker serviks terinfeksi HPV tipe 16 sebanyak 31 kasus dan terinfeksi HPV tipe 18 sebanyak 7 kasus.
Distribusi Umur, Paritas, Aktivitas Seksual dan Merokok pada Kanker Serviks Invasif
Tabel 5.1 Distribusi Umur, Paritas, Aktivitas Seksual dan Merokok pada Kanker Serviks Invasif
Faktor Risiko
N
Persentasi
Umur (tahun)


30 – 34
6
24
35 – 39
1
4
40 – 44
4
16
45 – 49
5
20
≥ 50
9
36
Paritas


1
1
4
2
9
36
≥ 3
15
60
Aktivitas Seksual (tahun)


≤ 16
1
4,0
17
0
0
18
3
12
19
5
20
≥ 20
16
64
Merokok


Ya
17
68
Tidak
8
32


Distribusi Rerata Ekspresi Protein 53 pada Kanker Serviks Terinfeksi Human Papilloma Virus Tipe 16 dan 18
Tabel 5.2 Distribusi Rerata Ekspresi Protein 53 pada Kanker Serviks Terinfeksi HPV Tipe 16 dan HPV Tipe 18

Variabel
Protein 53

t

p
Rerata
SD
Kanker Serviks
Tipe 16
28,6806
4,55027
4,038

0,001
Tipe 18
67,5357
10,23495

Dari tabel di atas didapatkan rerata ekspresi p53 pada kanker serviks terinfeksi HPV-16 dan terinfeksi HPV-18 berbeda bermakna ( p < 0,05 ).

DISKUSI

Word Health Organization (WHO) pada tahun 2000 menyatakan antara 75-80% kasus kanker serviks terdapat di negara–negara sedang berkembang. Di Indonesia diperkirakan 90-100 kanker baru diantara 100.000 penduduk pertahunnya (Rahman, 2000). Sementara di Bali dengan 3,5 juta penduduk diperkirakan kejadian kanker serviks adalah 150-200 kasus baru per tahun. Hal ini didukung laporan penelitian di RS Sanglah Denpasar (Sindu dan Suwiyoga, 1995; Dharmaputra dan Suwiyoga, 2001). Prognosis kanker serviks yang buruk dihubungkan dengan 85-90% kanker serviks terdiagnosis pada stadium invasif, stadium lanjut, bahkan stadium terminal (Suwiyoga, 2000; Nugroho, 2000). Selama ini, faktor prognosis ditentukan berdasarkan klinis dan histopatologis. Akan tetapi kedua hal di atas merupakan indikator prognosis di tingkat seluler dan jaringan bahkan anatomis. Sejak pengetahuan dan ilmu biologi molekuler berkembang pesat, indikator molekuler lebih dipercaya dan memiliki ketepatan dan manfaat klinis yang lebih baik.
Sampai saat ini, disepakati secara luas bahwa faktor risiko mayor kanker serviks adalah infeksi human papilloma virus (HPV) (Franco et al, 1999) terutama tipe 16 dan 18 yang merupakan kelompok HPV onkogenik tinggi serta tersebar secara luas diseluruh dunia (Wright, 1995). Peran infeksi HPV sebagai faktor risiko mayor kanker serviks telah mendekati kesepakatan, tanpa mengecilkan arti faktor risiko minor seperti umur, paritas, aktivitas seksual dini / prilaku seksual, dan merokok (Brennan et al, 1995), pil kontrasepsi, genetik, infeksi virus lain dan beberapa infeksi kronis lain pada serviks (Wright, 2001) seperti klamidia trakomatis (Suwiyoga, 2004) dan HSV-2 (Hacker, 2000). Dinyatakan pula bahwa tidak terdapat perbedaan probabilitas terjadinya kanker serviks pada infeksi HPV-16 dan infeksi HPV-18 baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama (Bosch et al, 2002). Akan tetapi sifat onkogenik HPV-18 lebih tinggi daripada HPV-16 yang dibuktikan pada sel kultur dimana transformasi HPV-18 adalah 5 kali lebih besar dibandingkan dengan HPV-16. Selain itu, didapatkan pula bahwa respon imun pada HPV-18 dapat meningkatkan virulensi virus dimana mekanismenya belum jelas (Burger et al, 2000). HPV-16 berhubungan dengan squamous cell carcinoma serviks. Sedangkan, HPV-18 berhubungan dengan adenocarcinoma serviks. Prognosis dari adenocarcinoma kanker serviks lebih buruk dibandingkan squamous cell carcinoma (Lopez, 1997; Fox, 2000). Gen supresor tumor yang berperan pada kanker serviks yaitu protein 53 yang berfungsi sebagai pengatur pertumbuhan sel normal. Inaktivasi gen protein ini akibat terbentuknya kompleks E6-p53 dan p53-mutan. Inaktivasi gen tersebut dapat mengakibatkan sel kehilangan sifat serta control terhadap pertumbuhan sel normal dan terjadi transformasi sel kearah neoplasma. Temuan bahwa protein E6 dari HPV dapat memicu degradasi p53 baik invitro maupun in vivo menjadi petunjuk bahwa jalur inaktivasi seperti ini terlibat dalam neoplasma yang mengarah pada kanker serviks (Crook et al.,1991).
Berikut ini adalah pembahasan hasil penelitian faktor risiko serta ekspresi p53 pada kanker serviks terinfeksi HPV 16 dan 18.

Distribusi Faktor Risiko pada Kanker Serviks
Pada penelitian ini didapatkan usia pasien kanker serviks terrendah adalah 30 tahun dan tertinggi 67 tahun, dengan rerata umur 46,92 ± 11,26 tahun. Penelitian ini menunjukkan hasil yang hampir sama bahwa rerata umur kanker serviks berada diantara 30-70 tahun (Susanto, 2001; Azis, 2001). Dharmaputra dan Suwiyoga (2001) juga mendapatkan proporsi umur terbanyak pada kanker serviks di RS Sanglah Denpasar adalah 40-44 tahun (46,7%). Janicek et al (2001) menyatakan bahwa peran umur sebagai faktor risiko kanker serviks terkait dengan usia saat pertama kali melakukan hubungan seksual. Infeksi HPV yang terjadi sekitar 5 tahun setelah menar lebih berpeluang untuk probabilitas terjadinya kanker serviks. Hal ini didukung oleh Sawaya et al (2003) yang mendapatkan bahwa status imun relatif kurang pada kurun waktu umur tersebut. Sedangkan, Vines et al (2004) menghubungkannya dengan kesempatan untuk multipartner seksual dan multipartner seksual ini berhubungan dengan panjangnya rentan waktu masa premarital dari saat menar sampai dengan perkawinan. Multipartner seksual dan juga rentan waktu itu terkait dengan risiko terpapar infeksi oleh penyebab PHS, termasuk infeksi HPV.
Rerata umur saat kawin pada penelitian ini adalah 20,96 ± 2,69 tahun dimana didapatkan umur terrendah 15 tahun dan tertinggi 26 tahun. Didapatkan pula bahwa seluruh kasus kanker serviks berstatus kawin dan menikah satu kali. Usia saat kawin ini erat dikaitkan aktivitas seksual. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara lesi prekanker dan kanker serviks dengan aktivitas seksual pada usia dini, khususnya sebelum umur 17 tahun (Wright et al, 1999;). Hal ini mungkin terkait dengan komplemen histon pada semen yang bertindak sebagai antigen, kematangan sistim imun terutama mukosa serviks sendiri, rentan waktu kesempatan berganti partner seksual yang terkait dengan risiko terkena infeksi PHS. Faktor risiko ini dihubungkan dengan karsinogen pada zona transformasi yang sedang berkembang dan paling berbahaya apabila terinfeksi HPV pada 5-10 tahun setelah menar (Bosch et al, 2002). Selain itu, jumlah pasangan seksual menimbulkan konsep pria berisiko tinggi sebagai vektor yang dapat menimbulkan infeksi terkait dengan PHS.
Rerata paritas pada penelitian ini didapatkan 3,60 ± 2,16 dimana paritas satu merupakan terendah dan tertinggi adalah paritas sepuluh. Peneliti lain melaporkan bahwa prevalensi paritas terbanyak pada kanker serviks adalah 4-6 yaitu 45-65% (Arifuddin, 2000; Azis, 2001). Susanto (2000) melaporkan bahwa paritas lebih dari 3 mungkin merupakan faktor risiko kanker serviks. Sedangkan penelitian multisenter oleh IARC mendapatkan paritas lebih atau sama dengan 7 risiko kanker serviks meningkat 4 kali dibangdingkan nullipara (Bosch et al, 2002). Nampaknya paritas dapat meningkatkan insiden kanker serviks, mungkin terkait dengan terjadinya eversi epitel kolumner serviks selama kehamilan yang menyebabkan dinamika baru epitel metaplastik imatur yang dapat meningkatkan risiko transformasi sel serta trauma pada serviks sehingga terjadi infeksi HPV persisten. Hal ini dibuktikan pada suatu studi kohort dimana didapatkan bahwa infeksi HPV lebih mudah ditemukan pada wanita hamil dibandingkan yang tidak hamil. Selain itu, pada kehamilan terjadi penurunan kekebalan seluler (Sawaya et al, 2003; Moodley et al, 2003). Peneliti lain juga menyatakan bahwa pada kehamilan, progesteron dapat menginduksi onkogen HPV menjadi stabil sehingga terjadi integrasi DNA virus ke dalam genom sel penjamu dan menurunkan kekebalan mukosa zona transformasi (Schift et al, 2000). Selain itu, pada kehamilan risiko terjadinya infeksi dan progresi infeksi lebih tinggi terkait dengan eversi serviks akibat pengaruh estrogen. Menurut Santos et al (2001), b-estradiol dapat meningkatkan transkripsi onkoprotein E6 dan E7 HPV-16 sampai dengan delapan kali.
Faktor risiko lainnya dari kanker serviks adalah merokok, secara epidemiologis dalam perkembangan kanker serviks meningkatkan risiko 2 kali lebih besar dibandingkan yang tidak perokok. Pada wanita perokok ditemukan kotinin, nikotin, fenol, hidrokarbon dan tar konsentrasi tinggi pada mukus serviksnya dimana bahan-bahan ini merupakan karsinogen. Perokok berhubungan dengan penurunan bermakna densitas dan fungsi sel Langerhans yang berperan pada imunitas selular. Pada keadaan ini infeksi HPV dapat menyebabkan perkembangan NIS semakin mudah (Wright et al, 1999).

Distribusi Ekspresi P53 pada Kanker Serviks Terinfeksi HPV tipe 16 dan Kanker Serviks Terinfeksi HPV tipe 18
Peran infeksi HPV sebagai faktor risiko mayor kanker serviks telah mendekati kesepakatan, tanpa mengecilkan arti faktor risiko minor. Dinyatakan pula bahwa tidak terdapat perbedaan probabilitas terjadinya kanker serviks pada infeksi HPV-16 dan infeksi HPV-18 baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama (Bosch et al, 2002). Akan tetapi sifat onkogenik HPV-18 lebih tinggi daripada HPV-16 yang dibuktikan pada sel kultur dimana transformasi HPV-18 adalah 5 kali lebih besar dibandingkan dengan HPV-16. Selain itu, didapatkan pula bahwa respon imun pada HPV-18 dapat meningkatkan virulensi virus dimana mekanismenya belum jelas (Burger et al, 2000). Perbedaan peran diantara p53 juga dipengaruhi oleh tipe HPV. Hal ini didukung oleh Gastout et al (1996) yang mendapatkan adanya perbedaan hanya satu jenis asam amino pada tipe HPV tertentu. Asam amino tersebut adalah adanya aspartat pada HPV risiko tinggi dan glisin pada virus HPV risiko rendah. Afinitas onkoprotein E6 pada HPV-16 dan 18 yang merupakan kelompok HPV onkogenik tinggi adalah lebih tinggi dibanding dengan HPV-onkogenik sedang dan rendah. Hal ini disebabkan oleh karena ikatan E6-p53 dan E7-pRB pada HPV onkogenik tinggi lebih stabil. Hal ini didukung oleh Giannoudis et al (2000) dan Gonzalez et al (2001) yang menyatakan bahwa peningkatan p53 dan p21 lebih banyak pada infeksi HPV risiko tinggi.
Pada penelitian ini, didapatkan perbedaan rerata terdeksinya ekspresi p53 kanker serviks terinfeksi HPV tipe 16 dan 18 adalah 38,86 (p<0,05). Pada kanker serviks terinfeksi HPV tipe 16 didapatkan ekspresi p53 adalah 28,6806 dan yang terinfeksi HPV tipe 18 adalah 67,5357. Protein 53 yang terdeteksi bukanlah p53 wild type yang fungsional atau p53 mutan, akan tetapi p53 yang stabil yaitu p53 yang terikat dengan protein lain. Tampaknya, protein HPV mampu menginaktivasi tumor supresor p53 melalui komplek ikatan dengan onkoprotein E6 yang terdeteksi melalui pemeriksaan imunohistokimia. Jadi, degradasi fungsi baik p53 pada kanker serviks terinfeksi HPV adalah akibat terbentuknya kompleks antara protein supresor tumor tersebut dengan onkoprotein virus. Dengan demikian, terbentuknya kompleks p53-E6 ini mengakibatkan siklus sel berjalan tanpa kendali, DNA yang rusak tidak dapat dikenali dan diperbaiki, dan proses apoptosis terganggu.
Hasil penelitian ini didukung oleh Ambar (2002) juga melaporkan bahwa terdapat perbedaan bermakna terdeteksinya p53 antara HPV-16 dan 18 dengan HPV-tipe lain selain tipe 16 dan 18 pada kanker serviks. Peneliti lain juga menyatakan bahwa p53 pada infeksi HPV-18 lebih tinggi dibandingkan dengan pada infeksi HPV-16 dan p53 pada varian HPV-16 lebih tinggi dari pada HPV-16. Respon imun juga dapat mempengaruhi perbedaan p53 pada penelitian ini. Hal ini mungkin dapat menjelaskan kenapa seorang yang menderita infeksi HPV yang sama dapat mengakibatkan kanker serviks invasif pada seseorang dan tidak pada orang lain.
Pada penelitian ini didapatkan ekspresi p53 pada kanker serviks yang terinfeksi HPV tipe 16 lebih rendah dibandingkan dengan yang terinfeksi HPV tipe 18, oleh karena p53 yang diperiksa adalah p53 yang berikatan dengan protein lain. Dapat diasumsikan pada kanker serviks yang terinfeksi HPV tipe 16, ekspresi p53 mutan akan lebih tinggi. Peningkatan p53 menunjukkan degradasi fungsi tumor supresor tersebut. Hal ini berarti bahwa apabila p53 tinggi maka prognosis kanker serviks adalah lebih buruk dibanding p53 yang rendah.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna ekspresi 53 pada kanker serviks invasif yang terinfeksi HPV tipe 16 dan kanker serviks yang terinfeksi HPV tipe 18. Hal ini mungkin menunjukkan adanya perbedaan onkogenisitas diantara kedua tipe HPV tersebut.
Dengan telah ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna ekspresi p53 pada kanker serviks terinfeksi HPV-16 dan kanker serviks terinfeksi HPV-18 maka disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan rancangan penelitian yang lebih kuat dan dengan juga memeriksa p53 mutan.

DAFTAR PUSTAKA

Ambar, M. 2002. Peran p53, pRB dan c-myc Terhadap Gradasi Histopatologi Kanker Serviks Uteri Terinfeksi Human Pappilomavirus tipe 16 dan 18 (disertasi). Universitas Airlangga. Surabaya.

Andrijono. 2003. Sinopsis Kanker Ginekologi. Edisi pertama, Jakarta: Universitas Indonesia, hal 14-34.

Arifuddin, D. 2000. Kanker Serviks dan Permasalahan Registrasi. Maj. Obstet. Ginekol. Ind, 30 (suppl. 5) : 20-25.

Aziz FM. 2001. Natural history dari infeksi HPV dan NIS. Dalam: Kolposkopi dan neoplasia intraepitel serviks, Sjamsuddin S, Indarti J. Perkumpulan patologi serviks dan kolposkopi Indonesia. Edisi pertama.

Bakta M. 2002. Onkogen: peranannya dalam karsinogenesis. Divisi Hematologi dan Onkologi medik Lab/SMF Penyakit dalam FK UNUD/RS Sanglah Denpasar. Dalam: Kumpulan naskah pertemuan ilmiah nasional reguler IV patobiologi:” Patobiologi Kanker dan Patobiologi Thrombosis”, Denpasar, 11 mei 2002. hal :1-24.

Bosch, F.X., Munoz, N., Castellsague, X. 1998. Epidemiology of Cervical Dysplasia and Neoplasia. In : Luesley, M.D., Barrasso, R., editors. Cancer and precancer of the cervix. Lippincott-Raven Publishers. p. 51-65.

Bosch, F.X., Lorincz A., Munoz, N., et al. 2002. The Causal Relation between Human Papillomavirus and Cervical Cancer. J. Clin. Pathol, 55 : 244-265.

Brennan, J.A., Boyle, J.O., Koch, W.M., et al. 1995. Association between Cigarette Smoking and Mutation of the p53 Gene in Squamous-cell Carcinoma of the Head and Neck. N. Engl. Med. J, 332 : 712-717.

Brentjens MH, Yeung-Yue KA, LEE PC, Tyring SK. 2002. Human papillomavirus: a review. Dermatologic clinics, vol 20, number 2, pp.315-35.

Burger, R.A., Monk, B.J., Kurosaki, T., et al. 1996. Human Papillomavirus Type 18 : Association With Poor Prognosis in Early Stage Cervical Cancer. Nat. Can. Inst. J, 88 : 1361-1367.

Cox JT. 1995. Epidemiology of cervical intraepithelial neoplasm: the role of human pappiloma virus. Bailliere’s clin obstet gynaecol; 9:1-37.

Crook,T., Wrede, D., Vausden, K.H. (1991), p53 Point Mutation in HPV Negative Human Cervical Carcinoma Cell Lines, Onkogen, pp. 873-5.

Dharmaputra, I.G.N., Suwiyoga I.K. 2001. Kanker Serviks Uteri di RSUP Denpasar periode 1 Januari 1996-31 Desember 1998 (tesis). Universitas Udayana. Denpasar.

Debbie SR, Kembarem RF. 1998. Deteksi kanker berbasis molekul. Disampaikan pada kursus singkat mikrobiologi molekuler VII. Dalam kumpulan makalah mekanisme molekuler, terapi dan deteksi kanker. Bandung, 29 Agustus 1998. Jurusan Farmasi FMIPA ITB Bandung, hal 71 – 76

Djoerban Z. 2000. Onkogen dan karsinogenesis. Dalam Course and Worksop: the 2nd Basic Sciences in Oncology and The 4nd Paedriatic Oncology ( peningkatan profesionalisme anggota POI, modul A). Jakarta, April 2000. Perhimpunan Onkologi Indonesia.

Endang Purwantini. 1998. Onkogen dan gen supresor tumor. Dalam: Kursus singkat mikrobiologi molekuler VII, Bandung ; hal 19 – 30.

Fox H. 1998. Pathology of microinvasive and invasive carcinoma of cervix. In: cancer and precancer of the cervix,Luesley MD,Barrasso R,Lippincott-Raven Publishers, pp. 27-50

Franco EL01 02, Franco ED 01. 2001. Cervical cancer : epidemiology, prevention and the role of human papillomavirus infection. Canadian medical assiociation journal, vol 164, no. 7, pp. 1- 10.

Gastout, B.S., Podratz, K.C., Mc Govern, R.M., et al. 1996. HLA Association with cervical cancer. J. Gynecol. Oncol, 62 : 415-416.

Geene PV, Tidy JA. 1998. Prognostics factor in cervical cancer. In: Cancer and precancer of the cervix,Luesley MD,Barrasso R,Lippincott-Raven Publishers, pp: 275-288.

Giannoudis, A., Herrington, C.S. 2000. Differential expression of p53 an p21 in low grade cervical intra epithelial lesion infected with low, intermediate, and high risk human papillomavirus. Cancer, 89 (6) : 1300-1307.

Gonzalez, S.L., Stremlau, M., He Xi., et al. 2001. Degradation of Retinoblastoma Tumor Suppressor by the Human Papillomavirus Type 16 E7 Oncoprotein Is Important for Functional Inactivation and Is Separable from Proteosomal Degradation of E7. J. Virol, 75 (16) : 7538-7551.

Hacker, F.N. 2000. Cervical Cancer. In : Berek, S. J., Hacker, F. N., editors. Practical Gynecologic Oncology, 3rd Ed. Lippincott Williams & Wilkins. pp 345-356.

Hempling RE. 1996. Preinvasive lesion of the cervix : diagnosis and management. In : Piver MS, ed : Handbook of gynecologic oncology. 2nd ed, Boston : Litle Brown and Company,80-102.

Hoesin F. 2001. Epidemiologi dan gambaran histopatologi kanker mulut rahim. Dalam kumpulan makalah era baru penetalaksaan lesi prekanker serviks, Surabaya, hal 1-6.

Ishiji, T. 2000. Molecular mechanism of carcinogenesis by human papillomavirus -16. J. Dermatol, 27 (2) : 73-86.

Janicek MF,Averette HE, 2001. Cervical cancer: prevention, diagnosis and therapeutics. CA cancer J clin, vol 51, pp 92-114

Kaufman RH, Adam E, Vonka V. 2000. Human papillomavirus infection and cervical carcinoma. In: Cliniocal Obstetrics and gynecology, vol 43, number 2, Lippincott Williams & Wilkins, pp. 363-373.

Kenneth DH, Yao SF. 2000. Cervical and vaginal cancer. In Novaks Gynecology. Berek JS,ed. Twelfth edition, Williams and Wilkins, pp: 1111-53.

Kresno SB. 2000. Tumor suppressor genes. Dalam Course and Workshop: The 2nd Basic Sciences in Oncology and The 4th Paediatric Oncology (Peningkatan Profesionalisme Anggota POI, Modul A). Jakarta, April 2000. Perhimpunan Onkologi Indonesia.

Kresno SB. 2001. Karsinogenesis Secara Umum. Dalam Course and Workshop: The 4th Basic Sciences in Oncology. Modul C. Jakarta, 10-11 September 2001 hal 24-29.

Lopez A, Kudelka AP, Edwards CL, Kavanagh JJ. 1997. Carcinaoma of the uterine cervix. In: medical oncology, M.D Anserson cancer certer, Houstan, texas, pp. 1-15.

Moodley, M., Moodley, J., Chetty, R., et al. 2003. The Role of steroid contraceptive hormones in the pathogenesis of invasive cervical cancer: Review. Int. J. Gynecol. Cancer, 13 (2) : 103-134.

Munoz N, Bosch XF. 1997. Cervical cancer and human papilloma virus : epidemiological evidence and perspectives for prevention. Salud publica, 4, 274-82.

Nugroho K, 2000. Penanganan kanker masa depan. Kumpulan kuliah utama Kongres Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia XI, Denpasar, 34-41.

Rahman, A., Arifuddin, D., Gunawan, A. 2002. Deteksi Lesi Prakanker dan Kanker Serviks Uteri dengan Pemeriksaan Pap Smear di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Maj. Obste. Ginekol. Ind, (Suppl. 5) : 24.

Reid R, Lorinz.1989. Association of human papillomavirus with gynecologic cancer. Curr Opin Oncol,1,123-7.

Rosai J. 1997. Uterus – Cervix. In: Ackerman’s surgical pathology, eigth edition,vol 2, Mosby, pp.1353-1379;2253-2263.

Santos, C., Munoz, N., Klug, S., et al. 2001. HPV types and cofactors causing cervical cancer in Peru. Brith. J. Cancer, 85 (7) : 966-971.

Schift, M., Miller, J., Masuk, M., et al. 2000. Contraceptive and reproductive risk factors for cervical intraepithelial neoplasia in American Indian women. Int. J. Epid, 29: 983-998.

Sawaya, G.F., McConnell, K.J., Kulasingam, S.L. 2003. Risk of Cervical Cancer Associated With Extending the Interval Between Cervical-Cancer Screenings. N. Engl. Med. J, 67 : 349-416.

Sindu, I.B., Suwiyoga, I.K. 1995. Gambaran Kanker Serviks di RSUP Sanglah Denpasar. Pertemuan Ilmiah Tahunan POGI. Surakarta.

Surya Negara K, Surya IGP, Suwiyoga K. 2002. Kajian infeksi human papilloma virus tipe 16 dan 18 sebagai fartor risiko kanker serviks dan penyakit menular seksual, Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah , Denpasar.

Susanto, H., Peters, A.A.W. 1997. Epidemiological Study on Cervical Cancer Patient Admitted to Dr. Hasan Sadikin Hospital in Bandung, Indonesia, with Emphasis on HPV-DNA Typing. Bandung.

Suwiyoga, I.K. 2000. Kanker Serviks: Evaluasi Faktor Risiko Klinis. Maj. Obstet Ginekol Ind, (suppl. 5) ; 29-32.

Suwiyoga, I.K. 2004. Beberapa Masalah Pap Smear sebagai Alat Diagnosis Dini Kanker Serviks. Udayana Med. J, 35 (124) : 79-82.

Suryohusodo P.2000. Ilmu Kedokteran Molekuler. Edisi pertama. CV Sagung Seto, Jakarta, hal: 102-5.

Tyring SK. 2000. Human papillomavirus infection: epidemiology, pathogenesis, and host immune response. Journal of the American academy of dermatology, vol 43, pp. 518-526.

Vines, P., Alavanja, M., Buffer, P., et al. 2004. Tobacco and Cancer : Recent Epidemiological Evidence. J. Nat. Cancer Inst, 96 (2) : 99-106.

Widiarsa IB.P, Suwiyoga K, Widarsa K. Risiko karsinoma serviks pada penderita infeksi human papilloma virus tipe 16 di RSUP Denpasar. Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah , Denpasar. Tesis, 2000.

Wright, T.C., Kurman, R.J., Ferenczy, A. 1999. Precancerous Lesions of The Cervix. In : Kurman, R.J. Blaustein’s pathology of the female genital tract, 4th Ed. Pringer-Verlag. Berlin. p. 229-261.

Yanti, A., Purbadi, S., Sjamsuddin, S. 1998. Kejadian Residif Pasca Histerektomi Radikal pada Penderita Adenokarsinoma Serviks Uteri Stadium IB-IIA. Maj. Obstet. Ginekol. Ind, 22 (4) : 183-189.